|
SEPEKAN TERAKHIR |
|
|
|
POKOK RENUNGAN |
|
|
|
Si bijak tidak akan tergoda menghakimi, tetapi si bebal akan suka menunjuk kesalahan orang. |
|
|
|
|
|
|
Renungan Lain oleh Penulis: |
|
|
|
|
|
|
|
|
Home » Renungan » Jangan Menghakimi |
|
Jangan Menghakimi |
|
Rabu, 08 Februari 2017 |
|
|
|
|
|
Jangan Menghakimi |
|
Matius 7:1-5 |
|
|
|
|
|
|
Andaikata ada berita seorang pendeta menyuap seorang ustadz yang menduduki jabatan penting di negara ini. Tindakan mereka ketahuan dan saat ini kasusnya sedang ditangani para ksatria anti-korupsi. Bisa saja orang akan bertanya, “Bagaimana mungkin ini terjadi?” Dua orang pemimpin religius dengan atribut keagamaan yang disandangnya diduga melakukan tindakan tercela? Jika memang demikian kenyataannya seharusnya mereka merasa malu. Malu karena tindakan mereka tidak dapat menjadi teladan sebagaimana diharapkan dari seorang pemuka agama. Tetapi apakah rasa malu itu hanya ditujukan pada mereka saja? Sehingga sindiran-sindiran semacam “suap menyatukan perbedaan” atau “membangun toleransi melalui suap” muncul dari kejengkelan atau sekedar keisengan kita saja. Bahkan yang paling kasar cepat-cepat menyematkan kata “munafik” kepada mereka. Bisa jadi benar bahwa mereka adalah orang-orang beragama yang munafik. Namun sebelum menyematkan itu pada mereka alangkah bijaknya jika kita melihat diri kita terlebih dahulu.
Tuan Joko Ndokondo membuka Alkitab lalu mulai mengajar sekelompok kecil orang yang setia mendengarkan pituturnya. Menyikapi perkara sang pendeta dan sang ustadz, ia memberikan nasihat agar jangan buru-buru mencela apalagi menghakimi. Biasanya orang y...selengkapnya » |
Andaikata ada berita seorang pendeta menyuap seorang ustadz yang menduduki jabatan penting di negara ini. Tindakan mereka ketahuan dan saat ini kasusnya sedang ditangani para ksatria anti-korupsi. Bisa saja orang akan bertanya, “Bagaimana mungkin ini terjadi?” Dua orang pemimpin religius dengan atribut keagamaan yang disandangnya diduga melakukan tindakan tercela? Jika memang demikian kenyataannya seharusnya mereka merasa malu. Malu karena tindakan mereka tidak dapat menjadi teladan sebagaimana diharapkan dari seorang pemuka agama. Tetapi apakah rasa malu itu hanya ditujukan pada mereka saja? Sehingga sindiran-sindiran semacam “suap menyatukan perbedaan” atau “membangun toleransi melalui suap” muncul dari kejengkelan atau sekedar keisengan kita saja. Bahkan yang paling kasar cepat-cepat menyematkan kata “munafik” kepada mereka. Bisa jadi benar bahwa mereka adalah orang-orang beragama yang munafik. Namun sebelum menyematkan itu pada mereka alangkah bijaknya jika kita melihat diri kita terlebih dahulu.
Tuan Joko Ndokondo membuka Alkitab lalu mulai mengajar sekelompok kecil orang yang setia mendengarkan pituturnya. Menyikapi perkara sang pendeta dan sang ustadz, ia memberikan nasihat agar jangan buru-buru mencela apalagi menghakimi. Biasanya orang yang cepat menghakimi sebenarnya mempunyai masalah yang sama pada dirinya. Misalnya, orang yang secara berlebihan suka memojokkan orang lain sebagai orang yang tidak bermoral, bisa jadi ia sendiri adalah orang yang menyimpan perbuatan-perbuatan tidak bermoral. Seseorang yang selalu mengobral kebagusan dirinya sambil menghakimi kesalahan orang-orang lain, patut diduga bahwa ia mempunyai masalah besar pada dirinya. Anehnya masalah besar pada dirinya itu tidak disadarinya, malah sebaliknya ia melemparkan tuduhan dan penghakiman pada orang lain untuk menutupi kebejadan dirinya sendiri. Maka alangkah baiknya jika kita melihat diri kita dengan saksama terlebih dahulu. Siapa tahu kita pun memiliki kemunafikan yang tak kalah besar bahkan lebih besar dari orang yang telah kita hakimi sebagai orang munafik. Dan seperti biasa, “Sssttttt…..ttt, jangan bilang siapa-siapa ya?” pinta Tuan Joko Ndokondo menutup pituturnya.
Jemaat yang terkasih, marilah kita mempraktekkan firman Tuhan yang menasihati kita agar cepat untuk mendengar tetapi lambat untuk berkata-kata [Yakobus 1:19]. Jika kita mendengar berita yang tidak sedap menimpa orang lain atau saudara seiman kita, janganlah cepat-cepat memberikan kata-kata penghakiman padanya. Baiklah kita mengoreksi diri kita. Apakah kita juga menyimpan tabiat-tabiat tak baik sebagaimana orang itu? Syukur jika tidak. Tetapi jika ya, maka kita pun wajib merasa malu pada diri kita sendiri sebagaimana perbuatan memalukan yang dilakukan orang itu. Dengan demikian niscaya kita terhindar dari kebiasaan menghakimi dan siap mengalami pemulihan dari Roh Kudus. [DDK]
Pokok Renungan:
Si bijak tidak akan tergoda menghakimi, tetapi si bebal akan suka menunjuk kesalahan orang.
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
FOLLOW OUR INSTAGRAM |
|
|
|
|
|
|
|